PERADI mengaku resah dengan ulah sejumlah oknum advokat yang membuka praktek
pemutihan tagihan kartu kredit. PERADI menegaskan, pelakunya bisa dipidanakan
Diversifikasi usaha bukan hanya dilakukan oleh sebuah perusahaan. Profesi
advokat pun melakukan hal yang sama. Ada beberapa advokat yang menyediakan jasa
penyelesaian tagihan (pemutihan) kartu kredit yang macet. Bahkan, jasa yang
mereka lakukan itu sudah ada yang diumumkan di beberapa media massa lokal
maupun nasional.
Fenomena ini diakui oleh Dodit Wiweko Probojakti, Risk Management Coordinator
Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI). Fenomena ini khususnya terjadi di
beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Tentu saja, lanjut Dodit persoalan tersebut adalah persoalan yang serius bagi
industri kartu kredit di Indonesia. Dan, yang paling dirugikan dengan adanya
advokat yang menawarkan jasa seperti itu adalah pihak penerbit kartu kredit.
Data yang dimiliki AKKI selama 6 bulan terakhir ini mencatat bahwa sudah lebih
dari 4.000 nasabah yang menyerahkan permasalahan kartu kreditnya ke advokat.
Bahkan, "Jika kita lihat outstanding balancenya, jumlahnya sudah lebih dari Rp
10 milyar," ujarnya dalam sebuah seminar bertajuk Peranan Pengacara dalam
Penyelesaian Tagihan Kartu Kredit di Jakarta beberapa waktu lalu.
Pria yang juga menjabat sebagai Chief Risk Officer PT GE Finance Indonesia ini
mengatakan, penggunaan jasa advokat oleh sebagian nasabah diyakini merupakan
salah satu jurus yang paling ampuh dalam memutihkan tagihan kartu kreditnya
yang macet. Nasabah menjadi terbebas dari tagihan kartu kreditnya karena telah
diambil alih oleh advokat.
Modus yang selama ini berhasil direkam oleh AKKI, jelas Dodit, biasanya si
pemilik kartu kredit yang pembayarannya macet datang ke advokat. Kemudian dia
meminta kepada advokat untuk mengambil alih tagihan kartu kreditnya. Kemudian
sang advokat akan meminta pemegang kartu kredit untuk mengubah alamat, nomer
telp, handphone ke alamat/telp si advokat. "Nanti, ketika penerbit kartu kredit
datang menagih hutang ke si pemilik kartu, dikatakan oleh pemilik kartu itu
kalau tagihannya sudah diambil alih oleh si pengacara yang dia tunjuk," ujarnya.
Pemegang kartu juga harus buat surat kuasa dan surat pernyataan bahwa dia hanya
bisa bayar tagihan Rp 100 per bulan. Sang advokat akan mengurus pemutihan
tagiha itu dengan janji dia akan mendapat komisi 20 persen dari total tagihan.
Kalau berhasil si pemegang juga tidak bisa apply kartu baru lagi selama 2 tahun.
Ada Unsur Penipuan
Seorang manajer kartu kredit di bank swasta nasional tidak menampik adanya tren
penyelesaian tagihan kartu kredit yang macet dengan menggunakan jasa advokat.
Bahkan, di tempat kerjanya, hampir tiap hari ada saja seorang advokat yang
mengaku mewakili nasabah. Advokat itu secara terang-terangan telah mendapat
kuasa dari si A untuk menyelesaikan tagihan kartu kreditnya.
Terhadap proses seperti itu, katanya, pihaknya tidak langsung percaya begitu
saja. "Karena yang datang advokat, maka yang melayani adalah tim legal dari
bank kami. Yang kami tahu, proses itu akan berjalan alot dan biasanya kami
mengabaikannya," tuturnya kepada Hukumonline yang meminta agar identitasnya
tidak dipublikasikan.
Sebenarnya, lanjutnya, bagi nasabah pemilik kartu kredit tidak usah memakai
jasa advokat. Selain tidak efisien, si nasabah seringkali tertipu. "Kami punya
pengalaman. Ada satu nasabah ketika kami minta untuk menyelesaikan tagihan
kartu kreditnya, dengan santai dia mengatakan bahwa semuanya sudah diambil alih
oleh advokat yang telah ditunjuknya. Terlihat jelas, si nasabah merasa terbebas
dari tagihan tersebut," ujarnya.
"Tidak bisa seeprti itu. Tetap saja, si nasabah harus menyelesaikan tagihannya
meski dia mengaku telah menyerahkannya ke advokat. Yang kami kejar si
nasabahnya, bukan advokatnya," katanya.
Satu hal lagi yang mesti dicatat, lanjut si manajer tersebut, tagihan kartu
kredit yang macet biasanya diserahkan ke pihak ketiga atau agensi untuk
menagihnya. Nah, agensi ini sifatnya hanya outsourcing, bukan bagian dari
divisi sebuah bank. Jadi, "Urusannya bukan lagi pihak bank dengan nasabah.
Tapi, pihak agensi yang mewakili bank dengan nasabahnya," jelasnya.
Sekali lagi, sang manajer menyarankan jika ada nasabah yang tagihan kartu
kreditnya tertunggak atau macet, sebaiknya diselesaikan sendiri secara
baik-baik, jangan menggunakan jada advokat. "Fee-nya terlalu mahal. Yang saya
tahu, fee sebesar Rp 750 ribu untuk tagihan-tagihan di bawah Rp 3 juta. Untuk
tagihan di atas itu, fee-nya bisa mencapai 20 persen," ujarnya.
PERADI Resah
Sementara itu, Wakil Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Thomas E.
Tampubolon, mengaku resah dengan ulah sejumlah oknum advokat yang membuka
praktek penyelesaian tagihan kartu kredit tersebut.
Ia mengakui kalau ada segelintir advokat yang melindungi pemilik kartu kredit
yang tidak mau membayar tagihan kartu kredit. Menurutnya, praktek semacam ini
telah melanggar kode etik advokat. "Inilah yang tidak benar. Makanya kalau ada
indikasi pelanggaran kode etik, si advokat bisa dilaporkan ke organisasi
pengacara dalam hal ini Peradi. Peradi punya dewan kehormatan yang bertugas
memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik," tegasnya.
Thomas juga mengatakan belakangan ini banyak kantor advokat yang menjadikan
alamat kantornya sebagai alamat dari orang-orang yang tidak mau membayar kartu
kreditnya. Kalau sudah ada indikasi kebohongan yang dilakukan oleh advokat atau
nasabah pemilik kartu kredit, maka menurut Thomas si penerbit kartu bisa
melakukan penyelesaian melalui upaya hukum pidana. "Hal itu sudah merupakan
tindak pidana. Karena ada suatu usaha seseorang untuk mengemplang hutangnya.
Jangan sampai hal ini menjadi tren, karena bisa berbahaya," ujarnya.
Sebenarnya, ada yang mesti diketahui oleh pemilik kartu kredit. Bahwa
penjelasan mengenai sita menyita atau sanksi hukum pidana memang secara
eksplisit tidak dicantumkan dalam aplikasi kartu kredit. Namun demikian, dalam
aplikasi kartu kredit tersebut terdapat suatu ketentuan mengenai pernyataan
atau persetujuan dari pemegang (pemohon) kartu kredit.
Persetujuan itu terkait dengan pemohon untuk menerima dan mengikatkan diri
untuk tunduk dan mematuhi setiap dan semua syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan baik yang berlaku saat ini dan/atau di kemudian hari
berlaku beserta setiap perubahan-perubahannya menurut kebijaksanaan dari Bank
termasuk juga bertanggung jawab atas sepenuhnya atas semua tagihan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sehingga berdasarkan
bunyi pasal tersebut di atas dan dengan menandatangani aplikasi kartu kredit
sebagaimana dimaksud di atas, maka pemegang (pemohon) kartu kredit tersebut
juga terikat dengan seluruh hal-hal sebagaimana dimaksud di dalam pernyataan
atau persetujuan di atas. Namun, tidak terbatas pada apabila didalam
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut tercantum mengenai adanya
ketentuan sita dan/atau sanksi pidana.